Preman Berjubah Organisasi: Ketika Kadin Minta Jatah Proyek Rp 5 Triliun Tanpa Lelang

Preman Berjubah Organisasi: Ketika Kadin Minta Jatah Proyek Rp 5 Triliun Tanpa Lelang

Penulis: Nurjaya Ibo, Manusia Indonesia yang percaya bahwa kekuasaan ada untuk melayani rakyat kecil menyikapi viralnya Kadin Minta proyek 5 Triliun Tanpa Lelang***

Ada yang lebih berbahaya dari preman jalanan. Mereka tak perlu membawa senjata atau melontarkan ancaman secara terang-terangan. Cukup bermodal surat mandat, jas organisasi, dan keberanian berbicara seolah-olah negeri ini milik pribadi. Mereka bukan penghuni lorong gelap, melainkan duduk di ruangan ber-AC, berbicara dalam forum resmi, dan mengaku sebagai wakil dunia usaha. Bahaya mereka lebih besar karena bersandar pada legalitas semu dan sistem yang telah lama rapuh.

Ketika seorang pengurus (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) Kadin Cilegon terang-terangan meminta jatah proyek senilai 5 triliun tanpa proses lelang, itu bukan sekadar pelanggaran prosedur. Itu merupakan pengkhianatan terhadap etika, hukum, dan keadilan publik. Bukan hanya permintaan, tapi sebuah tekanan agar hak pelaku usaha lain dicabut dan diserahkan secara sepihak. Ini bukan bentuk aspirasi, melainkan penentuan sepihak: siapa yang berhak mendapat ruang ekonomi, dan siapa yang harus tersingkir. Ironisnya, semua dilakukan dengan rasa percaya diri seolah tak tersentuh hukum.

Peristiwa ini mencerminkan kerusakan cara berpikir sebagian elite ekonomi lokal. Dunia usaha tidak lagi dipandang sebagai ajang persaingan sehat, melainkan ladang rampasan. Ini bukan kesalahan ucapan semata, tetapi mencerminkan warisan mentalitas: siapa yang dekat dengan kekuasaan, ia yang berhak atas kesempatan. Mentalitas seperti inilah yang menjadi batu sandungan bagi kemajuan daerah.

Kejadian ini juga membuka kedok organisasi yang selama ini berlindung di balik jargon seperti “kemitraan,” “investasi,” atau “pengembangan usaha.” Di ruang publik, mereka seolah membela UMKM dan pengusaha lokal. Namun di balik pintu tertutup, mereka berubah menjadi calo proyek, hanya peduli pada jatah dan persentase. Proyek nasional dijadikan alat transaksi elite, merugikan pelaku usaha kecil yang jujur dan kompeten.

Yang lebih mengkhawatirkan, praktik ini berasal dari organisasi yang seharusnya menjadi mitra strategis negara. Ketika institusi sebesar KADIN digunakan untuk menekan pengelolaan proyek publik demi keuntungan pribadi, maka krisis moral sudah berada di titik yang membahayakan. Ini bukan sekadar krisis etika, melainkan ancaman terhadap arah pembangunan nasional.

Saatnya Bertindak Tegas

Sudah terlalu lama praktik semacam ini dibiarkan. Mereka menekan investor, mengintimidasi pelaku usaha, dan menuntut proyek seolah-olah milik pribadi. Tanpa kompetensi, mereka hanya mengandalkan tekanan dan jaringan kekuasaan. Mereka tidak ingin bersaing, mereka ingin menang dengan cara kotor.

Kita harus mulai bersuara lebih keras. Diam hanya akan menumbuhkan keberanian para pelaku premanisme berjubah organisasi. Hari ini lima triliun diminta tanpa lelang besok, mungkin APBD disusun tanpa proses akuntabel. Sistem tender dianggap penghalang, transparansi dianggap ancaman. Semua diatur dalam ruang gelap, sementara masyarakat hanya menerima sisa-sisanya.

Jika negara masih ingin diselamatkan, maka pelaku semacam ini harus ditindak tegas. Klarifikasi dan permintaan maaf tidak cukup. Hukum harus ditegakkan, dan organisasi pusat harus bertindak konkret. Jika tidak, organisasi seperti KADIN akan kehilangan kehormatan dan kepercayaan publik.

Kita tidak boleh ragu menyebut mereka preman, meski berselubung organisasi. Premanisme tetaplah premanisme, meski dibungkus surat resmi atau siaran pers. Jangan beri ruang bagi siapa pun yang menjadikan organisasi sebagai alat pemerasan proyek pembangunan.

Penegak hukum harus aktif. Pemerintah pusat harus turun tangan. Jika tidak, publik akan menganggap negara turut bersekongkol. Dan ketika kepercayaan rakyat lenyap, maka tidak ada ruang bagi pertumbuhan ekonomi yang sehat, apalagi investasi jangka panjang.

Organisasi dunia usaha dibentuk untuk memperkuat jaringan, membuka peluang, dan mendukung pertumbuhan ekonomi daerah. Tapi jika berubah menjadi alat pemalakan yang dilegalkan, untuk apa struktur rapi dan rapat-rapat resmi? Bila ujungnya hanyalah pembagian jatah ilegal, organisasi semacam ini justru menjadi penghambat pembangunan.

Kita tahu bahwa dunia usaha butuh kepercayaan dan iklim kompetitif. Jika proyek dibagi bukan berdasarkan kualitas, melainkan kedekatan dan tekanan, maka sistem telah rusak. Tidak ada harapan bagi pengusaha kecil. Yang tersisa hanya makelar proyek dan mafia yang berpindah dari satu proyek ke proyek lain.

KADIN dan organisasi sejenis seharusnya membina, bukan membegal. Mereka harus mengajarkan kompetisi yang sehat, bukan mendikte siapa yang wajib diberi proyek. Jika ada oknum yang menyalahgunakan peran ini, ia harus dicabut sampai ke akar. Bukan ditoleransi, bukan disembunyikan.
Jika terus dibiarkan, maka akan lahir generasi pelaku usaha yang percaya bahwa jalan tercepat menuju kesuksesan adalah kedekatan, bukan kerja keras. Dan di sinilah kehancuran dimulai.

Presiden Harus Turun Tangan

Kasus ini bukan hal remeh. Ini menyangkut nama baik negara dan iklim investasi nasional. Bila dunia usaha diracuni oleh premanisme semacam ini, investor akan ragu bahkan pergi. Mereka tak ingin mengambil risiko berurusan dengan organisasi yang mengatur proyek seperti mafia.

Presiden harus hadir, tidak sekadar sebagai simbol, tetapi sebagai pemimpin perubahan. Ini momentum menunjukkan keseriusan negara dalam membersihkan praktik-praktik premanisme di ruang resmi. Jangan tunggu skandal yang lebih besar atau laporan internasional yang mempermalukan kita.

Keterlibatan Presiden bukan hanya soal Cilegon. Ini soal pesan: bahwa negara tak bisa ditawar, proyek tak bisa diminta paksa, dan hukum harus ditegakkan. Ini soal wibawa negara, dan masa depan kita bersama.

Untuk Anak Muda dan Pelaku Usaha Jujur: Kalian Tidak Sendiri

Di tengah situasi ini, banyak anak muda yang mungkin merasa kecewa. Mereka yang merintis usaha, belajar tentang manajemen, branding, dan efisiensi, kini melihat bahwa semua itu tampak tak berarti di hadapan calo proyek. Mereka lelah, muak, dan bingung—apakah kerja keras masih layak diperjuangkan?

Untuk kalian yang masih bertahan di jalan lurus, yakinlah kalian tidak sendiri. Masih ada suara yang membela kejujuran. Masih ada ruang, meski sempit, untuk tumbuh tanpa harus menjilat atau menyuap.

Jalan ini memang berat, tetapi justru di sanalah masa depan dibangun. Jika semua menyerah, yang tersisa hanyalah para pemalak dan penjilat yang rebutan proyek, tanpa peduli pada dampak bagi rakyat.

Kalian yang jujur adalah pahlawan sejati. Kalian menyelamatkan martabat negeri ini. Kalian memberi harapan bahwa bisnis tidak harus kotor, dan organisasi tidak harus jadi alat tekanan.

Selama kalian masih berdiri, suara ini akan terus bersuara: premanisme tidak boleh menang. Negeri ini masih layak diperjuangkan oleh mereka yang berani berkata: cukup sudah!

Penulis: Nurjaya Ibo, Manusia Indonesia yang percaya bahwa kekuasaan ada untuk melayani rakyat kecil