Peduli Pendidikan dan Lingkungan PT SBJ dan PGRI Cibeber Sepakat Jalin Kerja Sama
PT Samudera Banten Jaya (SBJ) menerima kunjungan kehormatan dari jajaran pengurus Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kecamatan Cibeber
Dua tahun lalu, pada Ramadhan 1444 H, Menteri Agama RI mengeluarkan surat edaran. Edaran bersifat himbauan. Himbauan untuk mengatur suara pelantang. Pelantang untuk adzan.
Ocit Abdurrosyid Siddiq
Dua tahun lalu, pada Ramadhan 1444 H, Menteri Agama RI mengeluarkan surat edaran. Edaran bersifat himbauan. Himbauan untuk mengatur suara pelantang. Pelantang untuk adzan.
Padahal, yang diatur itu pelantangnya, bukan adzannya. Walau begitu, tetap menuai polemik. Karena dianggap sensitif. Menjadi sensitif ya karena itu tadi; yang diatur pelantangnya, yang dirasa adzannya.
Polemik meruncing menjadi konflik, ketika Gus Menteri menyampaikan statement kepada awak media, usai acara. Perkara sensitif disampaikan dengan cara door stop, menjadi riskan. Apalagi oleh pejabat publik.
Kekhawatiran itu terbukti. Yang sensitif dikonfirmasi secara tiba-tiba. Dalam posisi berdiri. Memperdalam maksud edaran. Membuat analogi. Keluarlah anjing. Lalu “menggonggong”.
Gayung bersambut. “Gonggongan berbalas gonggongan”. Reaksi bermunculan. Lalu analogi disamakan dengan perbandingan. Karena dianggap penistaan, isi door stop diperkarakan.
Efendi Gazali bilang, pejabat publik jangan membuat analogi. Untuk menghindari rancu definisi. Anwar Abbas bilang, andai bukan anjing, tapi bebek, masih bisa diterima. Kenapa? Karena anjing najis.
Kamarudin Amin, Dirjen Bimas Islam berkilah, benar anjing najis. Tapi dia juga pernah menjadi binatang yang menghantar pelacur masuk surga. Tersebab memberi makan padanya. Hadits sumbernya.
Ade Armado berceloteh, edaran bersifat imbauan, dan tidak berlaku secara gebyah uyah. Karena masyarakat juga beragam. Beda kota dengan desa. Ada yang heterogen, ada yang homogen.
Roy Suryo selangkah di depan. Dia melaporkan. Dalilnya penistaan. Guntur Romli menyangkal. Katanya, tidak ada lisan Gus Menteri yang membandingkan adzan dengan gonggongan gogog. Laporan ditolak. Kini berbalik.
Wawan Wahyudin, profesor yang menjabat rektor perguruan tinggi Islam negeri di Banten menengarai, Gus Menteri sedang mencontohkan pentingnya pengaturan kebisingan pengeras suara.
Amas Tajudin, petinggi organisasi ulama di Kota Serang menduga, masyarakat Indonesia yang salah memahaminya. Bahkan, masih menurutnya, statement dan situasi ini dimanfaatkan oleh berbagai kalangan.
Bahkan Yandri Susanto, petinggi salah satu partai politik, menuntut Gus Menteri untuk meralat ucapannya itu. Walaupun sejatinya pada tayangan utuh tiada ditemukan perumpamaan sebagaimana dituduhkannya itu.
Sementara, Tubagus Imamudin, Ketua Umum Forum Dzuriat Kesultanan Banten mengatakan, aturan Menteri Agama mestinya ada pengecualian, karena dalam suatu masyarakat sudah terbiasa dan membudaya kegiatan tadarusan Al-Qur’an sampai menjelang shalat subuh dan biasanya dilanjutkan sesudah dzikir subuh atau dzikir pagi.
Reaksi masyarakat umum lebih heboh. Tak terima bila adzan dibatasi. Walau padahal pelantangnya yang dibatasi. Sumpah serapah membuncah. Daftar penghuni hutan lepas kendali. Meninggalkan sarang, bertebaran di media sosial.
Reaksi begitu demonstratif. Kompak memasang gambar pelantang, yang dipasang di bagian atas menara. Bukan hanya satu. Tapi banyak. Bukan hanya ke arah barat. Tapi ke 8 penjuru arah angin, ke barat, timur, utara, dan selatan.
Seolah membawa pesan, nyeukseukan. Seolah ingin mengatakan, “Kami akan lawan pelarangan -padahal pengaturan- ini dengan lebih banyak memasang pelantang. Biar terdengar hingga, hutan, pegunungan, dan lautan”.
Ada juga yang membandingkan suara pelantang dengan minyak goreng dan kedelai. “Minyak goreng langka. Harga naik. Kedelai langka. Tahu naik. Minyak goreng dan kedelai yang naik, mengapa suara adzan yang diturunkan?”.
Portal media online memuat judul berita, dengan mengutip statement para pesohor. Judulnya bombastis. Membuat yang sedang panas semakin memanas. Televisi lebih berani; Gegara Gonggongan Anjing, Menag Digugat Umat.
Saya sepakat, bahwa ini perkara sensitif. Sensitivitas publik yang pada kadar tertentu menjadi baper ini, tidak terlepas dari perasaan dan merasa bahwa Islam sedang didzalimi oleh rezim.
Narasi ini sejatinya tidak terlepas dari persoalan politik. Residu Pemilu beberapa waktu lalu masih menyisakan kesumat. Polarisasi rezim yang dianggap “abangan” dan “oposisi” yang ironisnya mayoritas, tidak terhindarkan.
Ditambah dengan sosok Gus Menteri yang adalah representasi dari Nahdlatul Ulama, yang mengusung tema Islam Nusantara. Istilah yang banyak menuai penolakan. Penolakan yang dimotori oleh tokoh-tokoh yang kerap disebut oleh NU sebagai Wahabi.
Lebih jauhnya lagi, ya tentu saja karena sosok pemimpin negeri ini yang sejak awal menjabat kerap dituduh dekat dengan komunis; momok dan musuh besar bagi Islam.
Bila kita mau menelisik dan sedikit meluangkan waktu, sejatinya persoalan pengaturan pelantang sudah diatur sejak tahun 1978. Jadi, bukan barang baru. Pertanyaannya, mengapa baru heboh sekarang?
Empat puluh empat tahun lalu, tepatnya tahun 1978, pemerintah menerapkan kebijakan yang mengatur perkara penggunaan pelantang di masjid dan musholla.
Selama 20 tahun era Orde Baru sejak regulasi itu diterapkan hingga berakhirnya masa Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1998, regulasi itu tidak menuai reaksi dari masyarakat, termasuk dari umat Islam.
Selama lebih dari dua dasawarsa setelahnya, yaitu sejak tahun 1998 hingga sekarang, kebijakan itu juga direspon biasa saja, baik oleh warga negara secara keseluruhan, maupun oleh umat Islam sebagai pihak yang berkepentingan.
Presiden silih berganti, mulai dari Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, hingga Jokowi. Regulasi itu sunyi dari aksi, apalagi reaksi. Mendadak, regulasi yang sudah puluhan tahun berlaku itu kini ramai diperdebatkan.
Saya sepakat dengan Ade Armando, bahwa surat edaran ini jangan diterapkan secara gebyah-uyah. Karena masyarakat Indonesia itu beragam. Yang di kota lebih heterogen. Yang di desa lebih homogen.
Saya juga sepakat dengan Imamudin, yang mengharapkan agar edaran itu dalam penerapannya ada pengecualian. Bagi lingkungan masyarakat homogen, penggunaan pelantang yang telah menjadi tradisi, sebaiknya tidak dibatasi.
Sebaliknya, reaksi masyarakat pun jangan gebyah-uyah. Edaran itu hanya berlaku bagi masyarakat yang heterogen; bahwa diantara masyarakat ada yang berbeda iman, yang mungkin saja merasa tidak nyaman.
Ada orang yang nyaman ketika mendengar suara adzan. Mafhumnya demikian. Tapi ada juga yang merasa tidak nyaman. Yang tidak nyaman ini, bisa jadi non muslim. Dan yang begini, jangan dikira tidak ada yang muslim.
Lalu muncul pertanyaan, muslim kayak apa mendengar suara adzan saja terganggu? Bukankah yang merasa demikian adalah setan? Nah, disinilah persoalannya. Terlalu banyak dari kita yang menakar kadar keberagamaan orang lain dengan ukuran kadar iman sendiri.
Bahwa ada yang merasa terganggu oleh kebisingan pelantang, itu fakta. Aneh atas fakta ini? Itu karena mengukur fenomena ini dari kebiasaan lingkungan yang homogen. Coba piknik ke kota! Akan kita rasakan keragaman itu.
Jadi, tak perlu mengukur tradisi lingkungan orang lain dengan ukuran lingkungan sendiri. Jangan mengukur baju orang lain dengan ukuran badan sendiri. Karena itulah, perkara pelantang ini memang harus diatur.
Saya sendiri merasa nyaman ketika mendengar alunan tarhim sebelum subuh dari musholla di belakang rumah. Apalagi bila yang melantunkan itu kakek renta. Selain merasa nyaman juga takjub, karena memotivasi kita yang lebih muda untuk bergegas.
Tapi, kadang saya juga lebih memilih untuk menutup telinga dengan bantal ketika mendengar suara “ashsholatu khoirun minan naum”. Teu kuat, tunduh. Pelebah dinya, saya kadang merasa terganggu. Lalu, lantas dengan begitu, saya adalah setan?
Itu saya, yang Islam. Apalagi mereka, yang nonis. Anda? By the way, Ramadhan tahun ini, apa kabar Gus Menteri? Wallahualam.
Tangerang, Senin, 17 Maret 2025
Penulis adalah Pengurus ICMI Orwil Banten, Ketua Bidang Kaderisasi Pengurus Besar Maathlaul Anwar, Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas)
PT Samudera Banten Jaya (SBJ) menerima kunjungan kehormatan dari jajaran pengurus Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kecamatan Cibeber
Kepala SMA Negeri 1 Cibeber, Imas Tatu Sri Mulyani telah melakukan banyak hal untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolahnya yang memiliki 675 siswa.
Oleh: Nurjaya, Founder Ibo Politica Indonesia